Kamis, 21 April 2011

PAJAK DALAM SEBUAH CERITA


PAJAK
DALAM SEBUAH CERITA

I.                PENDAHULUAN
Sungguh merupakan suatu fenomena yang sangat menarik, jika kita memperhatikan beberapa tulisan di media massa dan media elektronik terkait dengan masalah PAJAK, hal ini menjadi perhatian penulis karena dari semua tulisan yang dimuat di media tersebut pembaca diajak untuk lebih memahami mengapa pajak begitu penting seperti tertulis didalam artikel yang berjudul Pajak, Antara Harapan dan Kenyataan oleh : Marihot D. Saing yang mengupas masalah penolakan masyarakat untuk membayar pajak, tulisan yang menggelitik imaji kita dan  merupakan kenyataan yang kerap terjadi ditengah-tengah masyarakat dewasa ini dapat dilihat dalam artikel yang ditulis Oleh Imron Supriyadi yang berjudul Antara Aku, Kita dan Gayus, dan Ketika Gayus Ingin Menjadi ‘Nabi’, beliau mengemukakan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia ketika berjumpa di tempat-tempat umum, dapat dengan mudah membicakan hal-hal yang sedang trend atau sedang ramai dibicarakan pada saat itu, dimana Gayus Tambunan tersangka penggelapan pajak yang menjadi selebritas dadakan (terkenal dan dibicarakan dimana-mana), menjadi topic percakapan yang menarik.
Reza A.A Wattimena dalam tulisannya yang berjudul “Pajak dan Kontrak Sosial” yang mengemukakan bahwa “Membayar pajak adalah suatu tindakan yang mencerminkan kesadaran manusia sebagai mahluk yang memerlukan tatanan, guna menjamin eksistensinya. Membayar pajak juga mencerminkan kepercayaan sosial (social trust) yang menjadi dasar dari kehidupan bersama manusia.” Serta tulisan beliau yang mengupas masalah “Mafia hukum dan pajak bisa timbul dan berkembang, karena adanya ketidaksetaraan akses di dalam penegakan hukum dan pengelolaan pajak. Lemahnya akses informasi juga memperlemah sikap kritis publik terhadap dua bidang tersebut. Akibatnya kontrol juga melemah, dan mafia bertumbuh subur seolah tanpa resistensi. Ketidaksetaraan adalah fakta nyata yang harus disingkapi secara bijaksana, dan bukan dengan melarikan diri memaksakan kesetaraan antar warga negara di hadapan hukum, yang kiranya kini kian berubah menjadi ilusi.”  Dapat dibaca dalam artikel beliau yang berjudul “Dari Ilusi Menuju Konspirasi”.
Harapan saya dengan membaca artikel dibawah ini yang saya rangkum dalam beberapa bagian sesuai dengan judul artikel dimaksud dapat memberikan pemahaman kepada kita tentang PAJAK itu sendiri.
Selamat membaca…………
II.             PAJAK ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Ditulis tanggal:28/04/2010 Oleh: MARIHOT D.SAING

ADANYA GERAKAN untuk menolak membayar pajak sebagai wujud adanya ketidakpercayaan atas pengurusan pajak, berbanding terbalik dengan asas perpajakan self assesment (menghitung pajak sendiri) yaitu setiap wajib pajak mulai dari mengambil formulir pajak, menghitung, melaporkan sampai dengan membayar pajak sendiri. Dengan kata lain mengutamakan kejujuran.
Permasalahan penolakan pembayaran berawal dari adanya dugaan ada penyimpangan dalam pengurusan pajak sebagai penerimaan negara, dimana seorang petugas pajak sebagai PNS dengan golongan IIIA mempunyai rekening Rp 24 miliar lebih, mempunyai rumah di komplek elite dengan harga kurang lebih Rp. 1,2 miliar juga mempunyai apartemen di dalam dan luar negeri. Sehingga pajak sebagai sumber utama penerimaan utama negara dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Sebagai sumber penerimaan negara sudah seharusnya perlu diawasi secara ketat, karena tidaklah menutup kemungkinan adanya penyimpangan yang dilakukan siapa saja yang akan terlibat dalam proses penerimaan tersebut. Apalagi makin banyaknya jumlah wajib pajak maka berarti kemungkinan adanya penyimpangan akan menjadi lebih besar. Walaupun secara proses atau sistem di dalam perpajakan semua dilakukan secara elektronik (komputerisasi), tetapi akhirnya kembali lagi kepada petugas pajak atau fiskus dan wajib pajak juga yang terlibat dalam pengurusan pajak baik konsultan maupun akuntan publik dan lain sebagainya.
Untuk meningkatkan penerimaan negara, maka negara melakukan berbagai usaha antara lain ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Salah satunya terlihat dengan mengaitkan adanya nomor pokok wajib pajak (NPWP) terhadap pengurusan dokumen tertentu. Maka dengan adanya NPWP tersebut wajib pajak baik perorangan maupun badan mempunyai kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.
Sebagai suatu kewajiban dari wajib pajak, negara mempunyai hak untuk memeriksa kebenaran dari jumlah pajak dari wajib pajak yang dilaporkannya melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Karena itu juga  ada kewajiban dari fiskus dalam hal ini pegawai pajak dan  tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk merahasiakan segala sesuatu dengan laporan wajib pajak. Sebab bagi mereka yang membuka rahasia tersebut diancam dengan pidana kurungan dan denda. Tetapi ketentuan Pasal 34 UU No 28 Tahun 2007 tersebut memberikan pengecualikan yaitu kerahasiaan tersebut dapat dibuka bila diperlukan guna dalam peradilan atau pemeriksaan oleh lembaga negara atau istansi pemerintah yang berkaitan dengan keuangan negara, dengan terlebih dahulu mendapat ijin tertulis dari Menteri Keuangan.
Kecurangan
Dalam menjalankan undang-undang pejabat pajak berkaitan dengan pemeriksaan pajak, penagihan atau adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan untuk mendapatkan keterangan atau bukti-bukti, pejabat pajak diberikan kewenangan untuk meminta keterangan dengan izin tertulis dari Direktorat jendral dari badan atau pihak-pihak lain misalnya notaris, konsultan pajak, bank, akuntan publik atau pihak ketiga lainnya. Walaupun ketentuan ini mewajibkan pihak ketiga memberikan keterangan atau bukti yang diperlukan serta memberikan ancaman pidana berupa kurungan dan denda terhadap pihak ketiga yang tidak memberikan keterangan atau bukti. Tetapi akan sulit dilakukan atau adanya pertentangan antara satu undang-undang dengan undang undang lain, misalnya terhadap Notaris ketentuan UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mewajibkan notaris menjaga kerahasiaan setiap akta yang dibuatnya.
Dari ketentuan di atas bahwa semua perhitungan pajak dari wajib pajak, hanya dapat diketahui oleh pegawai pajak dan tidak dapat diketahui maupun diawasi oleh pihak-pihak lain. Sehingga jika ada perbuatan curang yang dilakukan oleh wajib pajak baik karena kelalaiannya atau kesengajaan hanya petugas pajak yang hanya mengetahui, termasuk tindakan curang tersebut dapat dilakukan dengan kerjasama dengan pegawai pajak itu sendiri. Misalnya dalam hal pengurangan pajak dari jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan kepada negara.
Direktur Jendral Pajak karena jabatan atau atas permohonan dari wajib pajak mempunyai kewenangan untuk:
  1. Melakukan pengurangan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa denda, bunga dan kenaikan atas utang pajak dalam hal sanksi tersebut karena kekhilafan atau bukan karena kesalahan wajib pajak;
  2. Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
  3. Mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar
  4. Membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak.
Dengan demikian jika adanya niat  berbuat curang dari  wajib pajak tidak akan terlepas bekerja sama   dengan petugas pajak, sebagai contoh untuk pengurangan pajak maka persetujuan untuk mengurangi jumlah pajak terutang harus dari  Direktur Jendral, dengan kata lain ada  beberapa tingkat petugas pajak yang harus dilalui.
Titik penting yang diperlukan adalah adanya pengawasan guna menegakkan peraturan dan kode etik terhadap pegawai pajak yang menyimpang dari tugasnya. Adanya Komite pengawas perpajakan selain Komite kode etik yang dibawah Menteri keuangan menunjukkan bahwa pengawasan tersebut hanya bersifat internal, karenanya agar ada keseimbangan agar kepentingan masyarakat dalam hal ini tentunya wajib pajak hendaknya  Komite pengawas tersebut didirikan sebagai suatu lembaga yang independen tidak dibawah Menteri Keuangan agar masyarakat terwakili dalam mengontrol pegawai pajak. Ketentuan pasal 36A mengatur perbuatan pegawai pajak yang dikenakan sanksi adalah perbuatan:
  1. Karena kelalaian atau dengan sengaja menghitung dan menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang;
  2. Dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya dapat diadukan bagian unit internal Departemen Keuangan;
  3. Melakukan pemerasan dan pengancaman terhadap wajib pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana Pemerasan yang diatur Pasal 368 KUHP;
  4. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara  melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksakan orang lain untuk memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran atau megerjakan bagi dirinya sendiri diancam pidana Pasal 12 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan di atas sepertinya ketentuan yang separuh hati untuk menjatuhkan sanksi terhadap petugas pajak, belum lagi UU No. 28 Tahun 2007 ini tidak mengatur sanksi terhadap kemungkinan pihak lain atau pihak ketiga mungkin yang turut serta melakukan kecurangan dalam penghitungan pajak seperti konsultan pajak dan akuntan publik karena kedua profesi ini berkaitan erat dengan pembukuan dari wajib pajak sebagai dasar penghitungan pajak itu sendiri. Selain itu haruslah ditentukan secara tegas bahwa terhadap pegawai pajak yang dengan sengaja menghitung dan menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain sebagai perbuatan korupsi, karenanya juga untuk membuktikan adanya korupsi atau tidak pembuktiannya dilakukan secara terbalik.
Ketidakseimbangan antara kewajiban fiskus atau pegawai pajak dan wajib pajak terlihat dari lebih terinci sanksi terhadap wajib pajak jika melakukan kesalahan baik karena kelalaian atau sengaja sebagaimana diatur dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 39 A. ketentuan pasal 38 mengatur wajib pajak telah lalai menyampaikan Surat Pemberitahuan, menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isi tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan surat keterangan yang tidak benar. Sedangkan Pasal 39 mengatur terhadap wajib pajak yang dengan sengaja:
  1. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP  atau melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
  2. Penyalahgunaan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau pengukuhan PKP
  3. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
  4. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau Keterangan yang isinya tidak benar
  5. Menolak dilakukan pemeriksaan
  6. Memperlihatkan pembukuan, catatan, dokumen yang isinya seolah-olah benar (palsu)
  7. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku atau dokumen lainnya, Tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen sebagai dasar pembukuan
  8. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut (wajib pajak sebagai pemotong pajak)
Pasal 39A berkaitan dengan faktur pajak yang dikeluarkan oleh Pengusaha Kena Pajak, meliputi:

  1. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi;
  2. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

Menempatkan wajib pajak sebagai subjek bukan sebagai objek hendaknya menjadi pedoman dari pemungutan pajak,  berarti menempatkan masayarakat itu sendirilah yang menjadi tujuan dari pemungutan pajak itu sendiri, sehingga fungsi pajak  selain sebagai sumber pendapatan negara, mengatur keuangan negara, juga berfungsi demokrasi dimana wajib pajak berhak untuk mendapatkan pelayanan yang baik jika penggunaannya tidak sesuai dengan tujuannya masyarakat dapat mengajukan komplain atau protes.
Sehingga pajak tidak semata-mata dipandang dari kuantitas atau jumlah penerimaan negara tetapi juga kualitas yang meliputi pemanfaatan atas penarikan pajak itu sendiri dari masyarakat, pelayanan terhadap wajib pajak, kualitas dari sumber daya manusia dari pegawai pajak yang berpegang teguh pada kode etik dan peraturan perudang-undangan.
III.             ANTARA AKU, KITA DAN GAYUS
Ditulis tanggal:14/01/2011 Oleh Imron Supriyadi
Gayus Tambunan, tersangka penggelapan pajak di Indonesia, ternyata di kampung saya menjadi selebritis melebihi Ariel Peterpan. Hampir setiap kali saya dan sejumlah warga sedang asyik main gaplek, Gayus menjadi perbincangan menarik. Tentu dalam ruang dan logika yang sangat berbeda. Banyak kepala, banyak juga pendapat. Lain ladang lain belalang, lain sungai lain ikannya, dan lain lobang lain tikusnya. Sama seperti obrolan malam itu.
“Gayus itu sebenarnya orang baik. Tetapi karena salah pergaulan, jadinya dia terjebak dalam penggelapan pajak. Jadi yang salah itu bukan Gayus, tetapi lingkungan dia bekerja yang mengajari Gayus jadi seperti sekarang,” ungkap Sis, salah satu guru di Palembang.
“Ya, tidak begitu, Mang, Sis. Mosok kalau anak kamu menari, kemudian tiba-tiba kaki anak kamu keselo atau terkilir, terus kamu menyalahkan lantai. Nggak fair, dong. Mestinya cara menari anak kamu yang perlu dibenahi, mungkin tehniknya salah, bukan malah menyalahkan lantai,” bantah Pras, seorang seniman di Palembang.
“Nah, itu dia. Pemikiran seperti Pak Sis itu masih Orde Baru banget. Sebab, dalam sejarah di negeri ini, setiap kali ada masalah politik, kasus kriminal, pemerintah selalu mencari kambing hitam. Jadinya pelaku sebenarnya tidak terjerat pasal hukum, sementara pelakunya sendiri melenggang di luar penjara. Yang disalahkan selalu lantai, dan penarinya entah kemana,” ujar Ken, salah satu aktifis seolah membela Pras.
“Tapi, kalau Gayus dari awal tidak diajari menggelapkan pajak, saya yakin Gayus tetap akan menjadi orang baik. Jadi yang salah ya gurunya Gayus itu. Gayus hanya akibat dari guru yang salah didik,” Sis tak mau kalah.
“Masalahnya, kenapa Gayus mau melakukan itu? Berarti kan Gayus yang memang mau melakukannya. Coba kalau Gayus menolak dari awal. Pasti Gayus tidak akan bernasib seperti sekarang?” tukas Sar, pekerja pabrik di Palembang.
“Gayus mau melakukan itu pasti ada sebab. Ya, sebabnya bisa macam-macam. Soal mentallitas, faktor ekonomi atau apa saja. Kita kan tidak bisa wawancara dengan Gayus. Kalau mau tahu sebenarnya, tanya langsung sama Gayus, kenapa dia mau melakukan itu?,” Sis kembali memancing argumentasi lainnya.
“Sebabnya jelas. Gayus tidak bisa menjadi ikan di lautan, meski airnya asin dia tetap tawar. Coba kalau dia pakai prinsip ikan di laut, Gayus tetap akan bersih. Tetapi Gayus memilih menjadi nasi goreng. Campur antara nasi dan minyak menjadi satu rasa, itu masalahnya,” kata Pras sok berfilosofi.
“Namanya juga manusia, Pras. Contoh saja anggota dewan. Dari awal mungkin ada saja anggota dewan yang ingin bersih dari korupsi. Tetapi setelah di dalam, dia ikut juga terhanyut dalam irama korupsi itu, karena memang iklimnya seperti itu. Jadi ya ikut-ikutan juga. Imannya memang kuat, Pras, tetapi iminnya yang nggak kuat,” tukas Amin, ditingkahi gelak tawa warga lainnya.
“Tapi kalau Gayus merasa cukup dengan gaji empat juta di perpajakan, menurutku tidak mungkin dia terjebak dalam lingkaran syetan itu. Mestinya dia bersyukur saja atas apa yang diterimanya dari gaji bulanan. Jadi tidak kejeblos dalam penggelapan pajak,” kata Ustadz Fir menimpali ucapan lainnya.
“Pak Ustadz, didunia ini berapa banyak manusia yang bisa merasa cukup dengan apa yang diterimanya sekarang. Tidak usah Gayus, Lha, sampean kan ustadz. Ternyata Pak Ustadz tidak cukup punya istri satu, akhirnya Pak Ustadz juga menikah lagi,” ujar Pras sekenanya.
Ustadz Fir jadi agak kikuk. Tak menyangka kalau ucapannya justru membuat dia terjebak. Ada rona yang kurang enak di wajah Ustadz Fir. Tetapi dia harus memaksa diri untuk tetap normal.
“Wah, kalau itu privacy saya, Pras. Tidak ada hubungannya dengan Gayus. Kita ini membahas Gayus, bukan mempersoalkan saya punya dua isteri. Kamu ini ngawur, Pras. Kalau kamu mau, ya silakan saja punya dua istri seperti saya,” Ustadz Fir menyerang Pras.
“Cukup itu relatif. Banyak orang yang pendapatannya terbatas, tetapi kehidupannya adem-adem dan tenang. Masalahnya itu karena kita tidak ada pengendalian diri. Selalu emosi dengan berbagai keinginan, sehingga kita tidak bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Akhirnya apa? Ya kita sendiri terjebak dalam lingkaran nafsu yang sebenarnya akan membuat dia susah sendiri,” ujar Sis setengah berfilsafat.
“Pak Guru, tapi susah untuk membentuk orang yang seperti kamu bilang tadi. Kita ini kan manusia biasa, bukan nabi. Sampai sekarang, saya juga masih sulit untuk memendam bermacam keinginan. Kalau menuruti keinginan, ya saya pilih saja jadi orang kaya, bukan jadi orang miskin,” ujar Naf, seorang pekerja kasar di Palembang.
“Tapi buktinya sekarang, kamu kaya atau miskin?” tanya Sis pada Naf.
Naf, terdiam. Saat itu Naf seperti sedang ditohok dengan pisau oleh Sis. Dia hanya menggeleng.
“Syukuri saja apa yang kamu terima sekarang Naf. Tuhan tidak akan buta dengan usaha kamu sekarang. Jalani saja. Selama kamu niatkan untuk pengabdian pada Tuhan, Insya Allah semua akan membuahkan hasil,” kata ustadz Fir memenangkan Naf.
“Termasuk pada Gayus, kita juga harus bersyukur,” sela Pras sekenanya.
“Gayus kita syukuri, Pras. Ngawur kamu?” tanya Ustadz Fir penasaran.
“Pak Ustadz, Gayus itu banyak jasa, lho. Coba kalau tidak ada Gayus, malam ini kita tidak pernah akan membahas soal Gayus dan rasa syukur seperti yang dibilang Pak Ustadz tadi. Biasanya kita juga ngomong soal pekerjaan. Sekarang, kita bahas soal Gayus sampai kemana-mana. Kan itu bentuk sumbangan Gayus pada kita, supaya kita lebih cerdas memahami hidup dan kehidupan, Pak Ustadz,” Pras berargumen semaunya.
“Ah, itu bisa-bisa saja kamu, Pras. Kamu itu seniman yang terlalu banyak bermain imajinasi. Menghayal. Jadi otakmu sering membuat tafsiran-tafsiran yang keluar dari logika normal manusia kebanyakan,” Ustadz Fir tidak terima dengan Pras.
“Ya, itu terserah Pak Ustadz. Setuju dan tidak setuju itu bukan urusan saya. Tapi secara tidak langsung, Gayus itu sudah memnyumbangkan banyak pemikiran pada kita. Juga pada bangsa ini. Sejak Gayus muncul ke permukaan, semua orang bicara korupsi. Kemudian lembaga-lembaga di negeri ini melakukan pembersihan sistem, jangan sampai ada korupsi di lembaga mereka. Muncul juga ide membuat kurkulum anti korupsi. Tetapi ada juga yang membuat gagasan korupsi yang sistematis dan legal,” Pras memancing masalah lagi.
“Korupsi yang legal, Pras?” tanya Ken penasaran.
“Iya. Korupsi tetapi legal. Tanya saja pada Pak Sis. Dia orang pendidikan, orang birokrasi, dia lebih tahu tentang ini,” Pras menyerang Sis.
“Pras, kalau soal itu aku tidak tahu. Aku nggak berani ngomong, nanti aku salah,” kata Sis agak ketakutan.
“Sudahlah Pak Sis. Kamu itu sebenarnya tahu, tetapi tidak mau ngomong karena takut kalau diberitakan wartawan, kan?” kata Pras menohok Sis malam itu.
Sis hanya diam. Sis mengalihkan perhatiannya pada buah gaple di depannya.
“Kamu saja Pras yang ngomong. Kamu kan orang bebas. Tidak ada risiko. Kalau aku kan PNS, jadi ya beginilah kalau PNS harus tunduk dan patuh pada sistem, meskipun sistem itu sedang memaksa kita untuk melakukan yang tidak baik,” Sis membela diri.
“Nah, itu! Pak Sis kan mengakui. Sebenarnya dalam negara kita ada  sistem yang seringkali memaksa orang speeri Pak Sis harus korup seperti Gayus. Sekarang ini, banyak laporan fiktif. Kadang-kadang kegiatannya belum selesai, laporan pertanggungjawabanya sudah tuntas. Kuitansi, jumlah peserta dan stempelnya ya palsu. Untuk mengambil uang dari pemerintah harus buat laporan dulu, padahal kegiatannya belum berlangsung. Apa itu tidak sama dengan Gayus?”
“Terus ada lagi tunjangan perumahan anggota dewan lima belas juta yang dilegalisasi oleh Kementrian Dalam Negeri. Laporan yang harus sma denga  jumlah uang, meski harus direka-reka. Kan itu sama saja korup juga. Kita ini kadang menghujat orang korup seperti Gayus, tetapi dalam praktiknya, kita juga melakukan hal serupa seperti Gayus. Jadilah bangsa ini negeri Gayus. Sudahlah, kita ini berteraik maling karena bukan kita yang jadi maling!” ujar Pras tanpa beban.
Malam itu semua bermain dengan logika dan perasaannya masing-masing. Kami terus bermain gaple. Melihat dan menunggu buah keberuntugan untuk kemenangan malam itu. Demikian, juga Gayus yang juga menunggu buah kemenangan sidang dari kasus yang saat ini sedang dijalaninya.
IV.             KETIKA GAYUS INGIN MENJADI ‘NABI’
Ditulis tanggal:14/01/2011 Oleh Imron Supriyadi
Keinginan Gayus Tambunan, tersangka penggelapan pajak di Indonesia yang berniat menjadi staf ahli Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Indonesia (Polri) tak lepas dari pantauan warga di kampung saya. Dua pekan terakhir, hampir setiap habis maghrib menjelang isyak, di masjid kampung saya ada saja jamaah yang berbincang soal Gayus.
“Gayus itu sudah gila. Mosok sudah korup kok malah mau jadi staf ahli KPK. Dasar Bocah edan!” ujar Mang Yus agak kesal.
“Iya, aku juga heran, Kok bisa-bisanya Gayus itu ngomong begitu. Apa dia itu tidak sadar kalau sekarang nama dia sedang hancur. E, sekarang malah mau jadi staf ahli. KPK dan Polri lagi! Siapa yang mau menerima orang seperti Gayus!” timpal Mang Sujak seakan setuju dengan Mang Yus.
“Ah, itu kan hanya akal-akalan Gayus, supaya dia dibilang orang yang sudah taubat. Kalau dia diterima jadi staf ahli, otomatis dia akan bebas dari jeratan hukum. Lagi pula, kalau pemerintah mau menerima itu, pemerintah juga gila. Lha, maling  pajak kok dijadikan staf ahli? Apa nggak tambah hancur negara ini?,” tukas yang lain.
“Itu kan kerjaan pengacara Gayus, supaya pengacaranya juga ikut tenar. Sudahlah, itu hanya politik jualan Gayus dan pengacaranya saja. Otaknya bukan Gayus, tapi orang-orang dibelakang Gayus,” kata Mang War, salah satu praktisi enterpreuner di Palembang.
Ungkapan beberapa jamaah di masjid kampung saya, tak beda jauh dengan tanggapan sejumlah pejabat di negeri ini. Niat baik Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri dianggap lelucon panggung ludruk yang sama sekali tidak masuk akal sehat kita.  Semuanya melihat baik Gayus sebagai dagelan politik Gayus yang ingin dianggap sebagai orang yang sudah menyesal dengan perbuatannya.
Tetapi apakah kita juga akan menolak niat baik anak kita yang sebelumnya terjerat narkoba, kemudian seketika ingin berbalik menjadi orang baik? Atau kita juga akan menghalangi iblis ketika suatu kali iblis datang kerumah kita kemudian ibllis menyatakan bertaubat dan ingin menjadi manusia bermoral sebagaimana nabi?
Kita, selama ini sering memilih membangkitkan suudzon (prasangka buruk) pada sejumlah orang yang punya niat baik. Sehingga prasangka buruk itu kemudian menutup hati kita, lantas mengatakan niat Gayus itu dianggap gagasan orang gila.
Ketika prasangka buruk sudah sedemikian tebal melingkupi akal dan hati kita, maka dia akan menjadi hijab (penutup) hati kita, untuk kemudian pancaran hati kita juga akan buram. Persis ketika kita berdiri di depan cermin. Taburilah cermin itu dengan debu sehingga cermin menjadi buram. Lalu kita ambil sebuah senter, atau lampu. Kemudian kita arahkan sinarnya ke cermin. Maka pantulan sinar yang mengarah pada muka kita juga akan buram, sebagaimana cermin yang sebelumnya memang buram oleh debu yang kita taburkan. Begitulah cerminan hati dan pikiran kita melihat niat Gayus.
Pun Gayus juga begitu. Mengapa niat Gayus harus dinilai negatif ketika ada dia ingin menjadi manusia bermoral seperti Nabi. Kalau ada tawaran pilihan pertanyaan; lebih baik mantan kiai atau mantan preman? Lebih baik mantan gadis berjilbab, atau mantan pekerja seks komersil? Lebih baik mantan ruhaniwan atau mantan koruptor? Logikanya, kalau mantan kiai akan menjelma menjadi preman. Kalau mantan gadis berjilbab bisa menjelma menjadi pekerja seks komersil? Kalau mantan ruhaniwan bisa menjelma menjadi koruptor. Sebaliknya, mantan preman tidak sedikit jadi kiai. Mantan pekerja seks komersil bisa menjadi perempuan berjilbab. Mantan koruptor bisa menjelma menjadi rohaniwan. Lantas berapa fakta di negeri ini orang yang selama ini kita anggap bermoral, tetapi pada kenyataannya kampanye kebaikan yang ditebarkan itu hanya lips service (buah bibir) atau kamuflase saja?
Penialain terhadap niat Gayus sangat relatif. Tergantung dari mana kita akan menilai dan memandangnya. Kita sudah sedemikian tidak percaya para realitas kebaikan yang pada kenyataaannya sering dimanipulasi. Atau kita juga sudah seperti besi karat tebal yang sangat sulit dibersihkan, karena sudah terlalu lama kita menyimpan karat prangsa buruk dalam lintasan batin dan logika kita. Akibatnya, muatan negatif dalam syaraf kita lebih mendominasi jalan pikiran, sehingga yang melintasi otak dan hati kita sering memilih melihat sesuatu dari sisi negatif dari pada positif.
Tetapi dalam soal ini, perlu kemudian kita juga mempertanyakan kembali, sebenarnya yang menolak niat baik Gayus itu karena hati kita yang buram oleh debu prasangka buruk, atau karena kita tidak ingin kasus besar pidana korupsi di negeri ini akan terbongkar oleh Gayus? Sebab disebut anggota DPR-RI, bukan tidak mungkin, ketika kasus Gayus ini diungkap akan banyak sejumlah orang kuat di negeri ini yang terlibat, baik dalam konteks politik dan ekonomi.
Kalau Gayus duduk sebagai staf ahli KPK dan Polri, akan sangat banyak kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat negara juga ikut terbongkar. Ungkapan Gayus yang ingin membongkar kasus korupsi kelas kakap dan kelas paus, sudah pasti membuat sejumlah petinggi negeri ini menjadi kalang kabut. Sebab Gayus adalah saksi kunci, siapa-siapa saja perusahaan dan pejabat negara yang selama ini menggunakan jasa Gayus dalam mengemplang pajak.
Sehingga argumentasi dalam dimensi moralitas yang digembar-gemborkan oleh para pejabat negara menolak Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri, tak lebih bentuk politik ketakutan para pejabat negara dan pengusaha agar Gayus tidak menyebut nama-nama koruptor kelas kakap dan kelas paus.
Argumentasi moralitas menolak Gayus, hanya sebuah politik pembelaan para pejabat negara dan pengusaha, agar mereka tetap selamat dari jeratan hukum terkait kasus korupsi yang mereka lakukan. Para pejabat negara sangat mengetahui iklim pikiran bangsa ini, sehingga hanya politik moralitas yang bisa menjadi benteng penolakan Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri. Hanya dengan kampanye atas nama moralitaslah sejumlah tokoh akan ikut menolak Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri.
Penolakan ini sama halnya ketika kaum kafir Quraisy menolak kedatangan Nabi Muhammad Saw di Mekkah. Penolakan mereka bukan pada dimensi ideologi Islam, melainkan karena Nabi Muhammad Saw akan mengganggu stabilitas penindasan, perbudakan dan kapitalisme yang selama ini dilakukan Kafi Quraisy di Kota Mekkah. Argumentasi penolakan atas dasar Islam tidak masuk akal bagi ajaran nenek moyang mereka, hanya rekayasa sejumlah penguasa Mekkah (Kafir-Quraisy) yang ketika itu tidak ingin diganggu kemapanan kekuasaannya menjadi pememerataan hak dan kewajiaban antar sesama, sebagaimana ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Jadi penilakan meraka bukan karena Islamnya, tetapi karena ajaran Nabi Muhamad Saw yang bertentangan dengan iklim hukum pendindasan yang sudah lebih dulu mereka terapkan.
Gayus memang bukan Nabi atau Rasul. Tetapi saat ini Gayus sedang menjadi manusia pilihan Tuhan yang sedang diundang Tuhan melalui sejumlah kasus yang melingkupinnya. Gayus memang ditugaskan Tuhan untuk membuka sejumlah kasus korupsi. Gayus juga seperti iblis yang membantu kita untuk mengantar banyak manusia masuk sorga, meski dia harus berkorban menyiapkan diri masuk neraka. Sama seperti lilin yang setia menerangi kegelapan, tetapi dirinya siap leleh dan terbakar.
Gayus, seperti juga Ahmad Mushodieq yang mengaku nabi. Datang dan lahir saat ini untuk membuka ruang pikiran dan batin kita. Tanpa Mushodieq  mungkin bangsa ini tidak pernah akan ada perbincangan serius para pejabat negara tentang agama. Karena Mushodiq, sejumlah pejabat negara kemudian duduk satu meja, antara Polri, Kemendagri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah tokoh agama membahas kehidupan agama.
Sedemikian parahnya bangsa ini yang telah meinggalkan nilai-nilai kerohanian, segingga Tuhan harus memaksa sejumlah pejabat negara untuk membicarakan agama dengan mengutus Nabi palsu Ahmad Mushodieq. Demikian juga dengan Gayus. Oleh karena sdemikian parahnya tingkat korupsi di negeri ini, sehingga Tuhan harus mengutus Gayus untuk menjadi tersangka. Gayus diundang Tuhan agar segera kembali pada-Nya. Sebab dalam kurun waktu tertentu ketika Gayus memanipulasi laporan pajak, sudah pasti Gayus sedang terlupa pada nilai-nilai kebaikan. Dan sekarang, Gayus tertangkap, ditugasi Tuhan untuk membantu pembongkaran kasus korupsi yang lebih besar di negeri ini.
Sekarang tinggal bagaimana sikap bangsa ini. Apakah akan menempatkan Gayus sebagai iblis yang tetap menjerumuskan manusia, atau merubah pikiran kita, untuk kemudian memposisikan Gayus sebagai iblis yang ingin bertaubat dan membantu bangsa ini untuk membongkar kasus korupsi di negeri ini? Pintu menuju kebaikan dari langit sudah dibuka melalui tertangkapnya Gayus. Sekarang tinggal para pejabat negara, mau atau tidak memulainya untuk membongkar kasus Gayus lain yang lebih besar lagi?

V.             PAJAK DAN KONTRAK SOSIAL
Ditulis tanggal:18/07/2010 OLEH : Reza A.A Wattimena

Para filsuf politik sepanjang sejarah berdiskusi keras tentang kondisi alamiah manusia. Pertanyaannya sederhana; sebenarnya pada kondisi alamiahnya, manusia itu mahluk macam apa?
Apakah ia adalah mahluk yang berbudi luhur dan lembut, seperti yang menjadi hipotesis Rousseau lebih dari tiga ratus tahun yang lalu? Ataukah ia adalah mahluk yang ganas dan destruktif, seperti yang menjadi hipotesis Thomas Hobbes lebih dari empat ratus tahun yang lalu?
Sulit untuk menemukan jawaban pasti. Namun satu hal yang langsung bisa terlihat dari situasi kita sekarang ini, tanpa adanya tatanan, kita akan saling menghancurkan.
Kompetisi tidak otomatis melahirkan tatanan. Diperlukan suntikan dari luar, dalam hal ini pemerintah yang legitim, untuk membentuk dan melestarikan tatanan.
Dalam arti ini pemerintah membutuhkan kekuatan politis untuk membentuk militer guna menjaga keamanan dan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Kekuatan politis itu berasal dari partisipasi rakyatnya. Partisipasi itulah yang kita kenal sebagai pajak.
Konsekuensi logisnya adalah tanpa pajak, pemerintah tidak memiliki kekuatan politis. Tanpa kekuatan politis tidak akan ada tatanan.
Dan tanpa tatanan akan tercipta sebuah situasi yang disebut Hobbes sebagai perang semua melawan semua. Pendek kata tanpa tatanan, akan tercipta kehancuran.
Dimensi Filosofis Pajak
Banyak orang masih merasa terbeban dengan pajak. Bagi mereka pajak adalah bentuk penindasan pemerintah terhadap rakyatnya, terutama mereka yang sudah miskin, tetapi masih tetap ditarik pajak.
Di samping kegunaan konkret yang telah diutarakan Suruji (2010), seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan sumber utama pemerintah untuk membayar pegawai negeri sipil, polisi, tentara, dan sebagainya, pajak juga memiliki dimensi filosofis yang sangat mendalam. Pajak adalah simbol dari kontrak sosial.
Hobbes menegaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah mahluk yang destruktif. Argumen ini dapat dibuktikan, jika kita melihat rentang sejarah manusia yang penuh dengan perang dan konflik, sebelum adanya kontrak sosial.
Pada satu titik manusia yang saling berperang tersebut menyadari, bahwa jika mereka semua terus berperang, maka mereka semua akan hancur, tanpa terkecuali. Maka lalu mereka berkumpul untuk membicarakan kemungkinan perdamaian, dan berupaya mencari cara untuk mencegah perang di masa datang.
Cara tersebut adalah dengan menciptakan kontrak sosial dalam bentuk perwujudan suatu otoritas yang mencipta dan melestarikan tatanan. Otoritas itulah yang kita kenal bersama sebagai negara.
Jadi pihak-pihak yang saling berperang menyerahkan sebagian kekuasaannya pada otoritas tersebut, guna menjaga dan melestarikan perdamaian yang ada. Banyak sekali dimensi filosofis yang menjadi dasar dari penyerahan sebagian kekuasaan tersebut, seperti kepercayaan (trust), transaksi, dan pajak.
Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa pajak adalah wujud material dari penyerahan kekuasaan pihak-pihak yang berperang kepada negara. Pajak adalah dasar dari tatanan dan perdamaian yang diharapkan dapat berlangsung lama.
Pelestarian Diri
Kontrak sosial bisa tercipta, karena manusia memiliki dorongan alamiah untuk mempertahankan dan melestarikan dirinya. Itulah kiranya yang menjadi argumen Hobbes.
Kontrak sosial tersebut dibangun di atas tiga pilar filosofis, yakni pelestarian diri, kepercayaan, dan pajak. Ketiganya adalah simbol dari penyerahan kekuasaan kepada negara, atau yang disebut Hobbes sebagai Leviathan.
Dengan adanya kontrak sosial, maka akan tercipta tatanan. Tatanan menjadi awal untuk terciptanya perdamaian dan kesejahteraan.
Maka dapatlah dikatakan bahwa tanpa pajak, tidak akan ada otoritas politis. Tanpa otoritas politis tidak akan ada tatanan.
Tanpa tatanan tidak akan ada perdamaian. Dan tanpa perdamaian tidak akan ada kesejahteraan.
Tanpa perdamaian dan kesejahteraan, maka tidak akan ada pelestarian diri. Perang dan konflik horisontal akan mewarnai eksistensi manusia.
Kondisi perang semua melawan semua akan tercipta. Pada akhirnya eksistensi manusia akan musnah, akibat perang yang diciptakannya sendiri.
Membayar pajak adalah suatu tindakan yang mencerminkan kesadaran manusia sebagai mahluk yang memerlukan tatanan, guna menjamin eksistensinya. Membayar pajak juga mencerminkan kepercayaan sosial (social trust) yang menjadi dasar dari kehidupan bersama manusia.
Taat pajak merupakan representasi dari kesadaran akan pelestarian dan eksistensi diri kita sebagai manusia, dan bukan sekedar kewajiban, apalagi keterpaksaan. Membayar pajak adalah suatu tindakan bermakna.***
Juga ada di www.rezaantonius.wordpress.com
VI.          DARI ILUSI MENUJU KONSPIRASI
Ditulis tanggal:29/06/2010  Oleh: REZA A.A WATTIMENA

MERUAKNYA MAFIA pajak dan mafia hukum baru-baru ini menandakan satu hal, bahwa mekanisme demokratisasi, yang kini menjadi prioritas utama pemerintahan Indonesia, tidak cukup meredam konspirasi korup yang bersarang di dalam birokrasi pemerintahan. Sebaliknya proses demokratisasi yang ditandai dengan desentralisasi otoritas justru malah memperbesar kemungkinan adanya konspirasi korup yang bersarang di lembaga hukum, maupun lembaga publik lainnya. Mungkinkah proses demokratisasi justru merangsang terciptanya konspirasi yang mengikis legitimasi sekaligus kinerja lembaga publik kita? Mungkinkah demokrasi justru menjadi bumerang yang menyerang balik pengusungnya?


Ilusi Demokrasi
Pada hemat saya ideal demokrasi setidaknya berdiri di atas tiga pengandaian. Pertama, demokrasi berdiri di atas sebuah pengandaian, bahwa setiap warga negara berada di dalam kedudukan setara, lepas dari ras, suku, agama, maupun tingkat ekonominya. Pengandaian kesetaraan ini lebih merupakan aspirasi daripada sebuah fakta. Ketidakmungkinan mewujudkan aspirasi ini ke dalam realitas menjadi ilusi pertama demokrasi.
Mafia hukum dan pajak bisa timbul dan berkembang, karena adanya ketidaksetaraan akses di dalam penegakan hukum dan pengelolaan pajak. Lemahnya akses informasi juga memperlemah sikap kritis publik terhadap dua bidang tersebut. Akibatnya kontrol juga melemah, dan mafia bertumbuh subur seolah tanpa resistensi. Ketidaksetaraan adalah fakta nyata yang harus disingkapi secara bijaksana, dan bukan dengan melarikan diri memaksakan kesetaraan antar warga negara di hadapan hukum, yang kiranya kini kian berubah menjadi ilusi.
Pengandaian kedua demokrasi adalah mungkinnya kehendak seluruh rakyat diwakili oleh beberapa orang yang dianggap pantas. Berpegang pada pengandaian ini sama juga berpegang pada asap yang segera sirna tertiup nafas. Asap tersebut sama rapuhnya seperti mimpi. Mimpi tersebut berpegang pada dua ilusi lainnya, yakni adanya kehendak rakyat yang utuh dan satu. Faktanya kehendak rakyat itu terpecah, karena begitu beragamnya kultur masyarakat yang ada, dan sangat sulit untuk ditemukan akar yang mendasarinya.
Ilusi yang kedua adalah mungkinnya satu orang mewakili pandangan satu kelompok masyarakat. Sang wakil rakyat sulit untuk menentang kebutuhan pribadinya, ataupun tekanan kekuasaan yang mungkin saja menyanderanya. Di dalam sandera kebutuhan pribadi dan tekanan politis, kebutuhan rakyat yang sesungguhnya seringkali terabaikan begitu saja. Inilah ilusi yang berada di belakang teori-teori demokrasi, yakni ilusi bahwa sang wakil rakyat, anggota DPR dan partai politik, mampu menyampaikan kepentingan rakyat yang sebenarnya, lepas dari keinginan pribadi maupun tekanan kekuasaan politis eksternal.
Masyrakat demokratis adalah masyarakat yang hidup melalui institusi-institusi publik yang bertugas melayani kepentingan publik. Di dalam masyarakat demokratis, otoritas dibagi ke dalam beragam institusi tersebut. Inilah yang disebut sebagai proses desentralisasi, yakni proses pembagian kekuasaan ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan yang bersumber dari kekuasaan itu. Masalahnya adalah di masyarakat yang kesadaran hukumnya masih amat rendah, institusi publik begitu mudah terpelanting menjadi koruptor, seolah tanpa resistensi apapun, karena otonominya yang besar.
Inilah yang kiranya terjadi di Indonesia. Ilusi demokrasi mendorong desentralisasi, dan desentralisasi menjadi ladang yang subur bagi korupsi. Besarnya kekuasaan institusi-institusi publik membuat lingkaran konspirasi korup justru semakin besar tanpa perlawanan. Mafia hukum bisa bekerja sama dengan mafia pajak dengan begitu mudah, karena proses desentralisasi kekuasaan atas nama demokrasi memberi mereka kekuasaan untuk melakukan itu. Proses desentralisasi melahirkan konspirasi. Konspirasi melahirkan korupsi. Korbannya adalah rakyat.

Ilusi menuju Konspirasi
Dengan demikian potensi terciptanya “konspirasi terkutuk” dalam bentuk mafia pajak dan mafia hukum adalah konsekuensi logis dari demokrasi yang tanggung, yakni demokrasi tanpa kepastian hukum. Penguasa-penguasa lokal lahir untuk mengeruk sumber daya daerah tanpa ada kontrol dari pusat. Institusi-institusi publik dengan otonominya melebarkan sayap korupsi tanpa bisa diakses oleh rakyat ataupun pemerintah pusat yang memiliki otoritas. Hadirnya mafia di berbagai kehidupan publik adalah konsekuensi dari desentralisasi demokrasi yang tidak diikuti dengan kepastian hukum.
Demokrasi pada tataran praktek harus merupakan tegangan dinamis antara kontrol pusat dan desentralisasi kekuasaan, baik terhadap institusi ataupun daerah. Disebut tegangan karena ekstrem salah satu di antara keduanya justru akan memunculkan masalah baru yang mungkin saja lebih besar dari sebelumnya. Disebut dinamis karena tegangan tersebut diharapkan menghasilkan inovasi-inovasi baru yang bisa memperkaya tata politik Indonesia. Di dalam tegangan ilusi akan lenyap terhisap kabut realitas. Di dalam dinamika dunia, keutamaan demokrasi akan terus diuji dalam perubahan yang berlangsung terus menerus.
Kontrol pusat yang kuat terhadap kinerja institusi dan pemerintah daerah perlu ditingkatkan, sambil tetap peka pada upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas tata kelola politik. Ini diperlukan untuk melenyapkan mafia yang bercokol di dalam berbagai institusi publik yang ada sekarang ini. Ini juga diperlukan untuk memacu kreativitas dan inovasi tata politik yang ada. Tujuannya tetap sama yakni menjamin terciptanya kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat. [*]
VII.          KESIMPULAN
Penerimaan Negara dari sektor pajak memegang peranan yang sangat penting untuk kelangsungan system Pemerintahan suatu Negara, karena penerimaan terbesar suatu Negara adalah bersumber dari pajak. Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta bagi masyarakat khususnya wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan Negara dan pembangunan nasional.


Sebesar 70 % lebih penerimaan Negara Republik Indonesia bersumber dari Pajak, baik pajak Pusat maupun Pajak Daerah. Oleh karena itu Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak terus berusaha menggenjot dan menaikkan target penerimaan Pajak dari tahun ke tahun, hal ini dimaksudkan agar program-program Pemerintah dalam menjalankan roda Pemerintahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan juga. Sebagaimana kita ketahui bersama kesadaran dan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap Pajak masih sangat kurang meskipun tahun-tahun terakhir ini terdapat peningkatan yang sangat baik, tetapi tetap saja sebagian besar masyarakat masih awam tentang pajak, baik cara melaksanakan kewajiban perpajakan dan yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya pengetahuan tentang manfaat dan kegunaan pajak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh sebab itu sebagai warga Negara yang baik kita diwajibkan untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan yang memadai tentang pajak kepada masyarakat Indonesia pada umumnya dan kepada kalangan sendiri, secara khusus melalui beberapa tulisan seperti diatas yang memberikan beberapa referensi kepada kita tentang pajak secara umum.
Pajak dalam sebuah cerita membawa kita kepada pemahaman bahwa pajak mudah dipahami semudah ketika kita membicarakan kehebatan Gayus dalam bumbu-bumbu cerita diperjumpaan yang menyenangkan dengan orang lain. Tidak hanya mudah dipahami, lakukanlah kewajiban sebagai wajib pajak yang taat yang dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan bangsa dan Negara Indonesia yang kita cintai.


Disadur dari :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar